Hari ini sengaja saya berangkat kampus agak
siangan, berhubung mata kuliah ilmu lingkungan pada jam pertama (pukul 07.00
WIB) dibatalkan karena dosen sedang bertugas ke luar kota.
Pukul 08.40 saya berangkat dari kost-an yang
berada di daerah Seturan, menuju kampus Karangmalang. Saya sengaja tidak
ngebut, iseng saja sekadar menikmati pemandangan sepanjang jalan.
Di perempatan jalan selokan mataram, saya
berjumpa dengan seorang pemulung bersama seorang putrinya hendak menyeberang.
Putrinya mungkin baru berumur di bawah 10 tahun, jika sudah duduk di bangku
sekolah mungkin baru kelas 1 atau 2 SD. Saya kembali melihat jam tangan saya, pada jam
itu dimana anak-anak sebayanya mungkin sedang berada di sekolah, dia justru ikut
ibunya menjadi pemulung? Mungkinkah dia putus sekolah? Itu pertanyaan terbesar
yang ada di benak saya.
Sekejap saya mengerem motor saya, mepersilakan
ibu pemulung itu menyeberang dahulu. Tapi uppss, tunggu dulu.. saya tidak salah
lihat kan? Ketika mereka lewat di depan mata saya, dengan kasih sayang si ibu menggandeng
tangan kiri putrinya, sementara tangan kanan si anak mendekap sebuah buku yang
cukup tebal yang dia letakkan di dada. Sekejap buku itu mengalihkan perhatian saya.
Mungkin saya tidak tahu spesifikasi buku itu, tapi dilihat dari bentuknya buku itu
tidak mungkin majalah, novel, komik dll seperti yang banyak disukai anak kecil.
Ia sepertinya bahagia memilikinya, dan terus mendekapnya seolah itu adalah barang
paling berharga yang dia miliki. Yang saya tahu, jelas buku setebal itu adalah sebuah
kamus. Iya, kamus.. Subhanallah...
Sejenak kejadian yang baru saja melintas mengingatkan
saya pada sosok anak perempuan yang mungkin usianya tidak terpaut jauh dengan anak
tadi, hanya saja saya temui dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Sepertinya
ia anak orang berada, sebab di usianya yang begitu belia, ia sudah dipegangi ponsel
yang bisa dibilang lebih bagus daripada ponsel milik saya, yang hanya bisa untuk
telepon dan sms. Katanya sih ponsel kekinian.... Jelas saya perhatikan ia terlihat
asyik dengan barang canggih tersebut, kadang-kadang sambil diselingi tawa cekikikan.
Entah apa yang dia lakukan, saya tidak mau terlalu jauh bernegatif thingking dan
memutuskan pergi dari sana.
Yang jelas, kedua hal yang temui adalah dua
hal yang bertolak belakang. Yang saya temui ini pasti baru di permukaannya saja,
kenyataanya pasti lebih. Apakah kita menyadari? Kemajuan teknologi membuat orang
semakin egois. Keegoisan banyak mengorbankan anak-anak yang harusnya dididik menjadi
generasi gemilang. Ketidaksadaran menyebabkan penjajahan terhadap masa depan anak
menjadi hal yang wajar. Bukankah penjajahan paling keji terhadap sebuah bangsa
adalah perusakan terhadap generasi mudanya? Di sisi lain, ketidakpedulian menyebabkan
banyak permata yang belum tersentuh. Itulah yang saya rasakan. Apakah semua ini
benar-benar dimulai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar